nasehat untuk para juru dakwah agar mengikhlaskan niat dalam berdakwah. Bukan mengejar materi, dunia atau ketenaran. Semua kaum muslimin yang beriman kepada Allah dan hari akhir, telah sepakat bahwa syarat diterimanya ibadah adalah ikhlas karena mengharap ridha Allah.
Dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Amal itu tergantung niatnya, dan apa yang diperoleh seseorang sesuai apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasu-Nya maka hijrahnya diterima untuk Allah dan Rasul-Nya. Namun siapa yang hijrahnya untuk mendapatkan dunia atau wanita yang ingin dia nikahi, maka dia hanya akan mendapatkan apa yang menjadi tujuannya.” (HR. Bukhari 54 & Muslim 1907)
Mengingat semua dai dan tokoh agama memahami ini, kita tidak membahasnya terlalu panjang.
Kedua, nasehat untuk para masyarakat tentang pentingnya mencari sumber ilmu yang benar. Karena tidak semua orang yang dianggap tokoh agama, dai atau ustad, layak diambil ilmunya dan layak diikuti pendapatnya. Ada model penyebar dakwah yang Allah hinakan dalam Al-Quran disebabkan semangatnya untuk meraup keuntungan dunia melalui dakwahnya. Dengan sifat ini, tentu saja mereka termasuk ulama su’u (ulama jahat).
وَقَطَّعْنَاهُمْ فِي الْأَرْضِ أُمَمًا مِنْهُمُ الصَّالِحُونَ وَمِنْهُمْ دُونَ ذَلِكَ وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ( ) فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَرِثُوا الْكِتَابَ يَأْخُذُونَ عَرَضَ هَذَا الْأَدْنَى وَيَقُولُونَ سَيُغْفَرُ لَنَا وَإِنْ يَأْتِهِمْ عَرَضٌ مِثْلُهُ يَأْخُذُوهُ أَلَمْ يُؤْخَذْ عَلَيْهِمْ مِيثَاقُ الْكِتَابِ أَنْ لَا يَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ وَدَرَسُوا مَا فِيهِ وَالدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran). Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: “Kami akan diberi ampun”. dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah Perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, Yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, Padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya?. dan kampung akhirat itu lebih bagi mereka yang bertakwa. Maka Apakah kamu sekalian tidak mengerti? (QS. Al-A’raf: 168 – 169)
Allah menceritakan keadaan sebagian ulama bani Israil. Mereka mewarisi Al-Kitab (taurat) dan membacanya, namun mereka tamak dengan harta yang rendah. Mereka mengklaim bahwa dirinya akan diampuni, karena sikap yang terlalu percaya diri.
Itulah gambaran ulama su’u, yang menjadikan motivasi dakwahnya hanya dunia dan dunia. (simak Tafsir As-Sa’di, hlm. 307)
Cari Sumber Ilmu yang Baik
Ibnul Qoyim menjelaskan bahwa diantara syarat ilmu itu bisa bermanfaat adalah adanya muatsir muqtadhin [arab: مؤثر مقتض], artinya pemberi pengaruh yang kuat. Dan itu bisa terjadi jika yang menjadi sumber ilmu adalah sesuatu yang baik.
Allah ta’ala menjamin para sahabat tidak akan menjadi kafir, selama di tengah-tengah mereka masih ada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ
“Bagaimana mungkin kalian menjadi kafir, sementara dibacakan ayat Allah kepada kalian dan di tengah-tengah kalian ada rasul-Nya.” (QS. Ali Imran: 101).
Mereka mendapatan jaminan untuk tetap berada di atas iman, salah satu sebab terbesarnya adalah adanya guru yang luar biasa di tengah-tengah mereka. Guru yang memberikan pendidikan iman sempurna, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karena itulah, ulama masa silam tidak sembarangan dalam mencari guru. Mereka sadar bahwa tidak semua orang yang dianggap berilmu, layak untuk diambil ilmunya.
Imam Muhammad bin Sirin – seorang ulama tabiin – pernah memberikan nasehat,
إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذونه
“Sesungguhnya ilmu syariah itu bagian dari agama. Karena itu, perhatikanlah, dari siapa kalian mengambilnya.”
Para ulama juga memahami, dalam mencari sumber ilmu, mereka akan mempertanggung jawabkan hal itu di hadapan Allah ta’ala.
Imam As-Syafii pernah mengatakan tentang gurunya, Imam Malik,
رضيت بمالك حجة بيني وبين الله
“Saya ridha imam Malik sebagai hujjah antara aku dengan Allah.”
Karena mencari sumber ilmu tidak lepas dari keterlibatan hawa nafsu. Bisa saja seseorang memilih ulama yang sesuai seleranya, sekalipun dia sadar, pendapat itu jelas bertentangan dengan kebanaran. Anggapan sebagian orang, biar nanti Pak Kyai yang bertanggung jawab di hadapan Allah, saya hanya mengikuti, ini adalah anggapan yang berbahaya. Sekalipun kita mengikuti, tapi kelak di hadapan Allah, masing-masing akan mempertanggung jawabkan amalnya sendiri-sendiri.
Sekali lagi, tidak semua orang yang dianggap berilmu layak untuk diambil ilmunya. Mereka yang dianggap berilmu, namun berkepribadian ‘matre’, ‘mata duitan’, tidak selayaknya diambil ilmunya. Karena ini diantara ciri ulama su’u, yang berkepribadian buruk.
Allahu a’lam
SUMBER: konsultasisyariah.com
Dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Amal itu tergantung niatnya, dan apa yang diperoleh seseorang sesuai apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasu-Nya maka hijrahnya diterima untuk Allah dan Rasul-Nya. Namun siapa yang hijrahnya untuk mendapatkan dunia atau wanita yang ingin dia nikahi, maka dia hanya akan mendapatkan apa yang menjadi tujuannya.” (HR. Bukhari 54 & Muslim 1907)
Mengingat semua dai dan tokoh agama memahami ini, kita tidak membahasnya terlalu panjang.
Kedua, nasehat untuk para masyarakat tentang pentingnya mencari sumber ilmu yang benar. Karena tidak semua orang yang dianggap tokoh agama, dai atau ustad, layak diambil ilmunya dan layak diikuti pendapatnya. Ada model penyebar dakwah yang Allah hinakan dalam Al-Quran disebabkan semangatnya untuk meraup keuntungan dunia melalui dakwahnya. Dengan sifat ini, tentu saja mereka termasuk ulama su’u (ulama jahat).
وَقَطَّعْنَاهُمْ فِي الْأَرْضِ أُمَمًا مِنْهُمُ الصَّالِحُونَ وَمِنْهُمْ دُونَ ذَلِكَ وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ( ) فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَرِثُوا الْكِتَابَ يَأْخُذُونَ عَرَضَ هَذَا الْأَدْنَى وَيَقُولُونَ سَيُغْفَرُ لَنَا وَإِنْ يَأْتِهِمْ عَرَضٌ مِثْلُهُ يَأْخُذُوهُ أَلَمْ يُؤْخَذْ عَلَيْهِمْ مِيثَاقُ الْكِتَابِ أَنْ لَا يَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ وَدَرَسُوا مَا فِيهِ وَالدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran). Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: “Kami akan diberi ampun”. dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah Perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, Yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, Padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya?. dan kampung akhirat itu lebih bagi mereka yang bertakwa. Maka Apakah kamu sekalian tidak mengerti? (QS. Al-A’raf: 168 – 169)
Allah menceritakan keadaan sebagian ulama bani Israil. Mereka mewarisi Al-Kitab (taurat) dan membacanya, namun mereka tamak dengan harta yang rendah. Mereka mengklaim bahwa dirinya akan diampuni, karena sikap yang terlalu percaya diri.
Itulah gambaran ulama su’u, yang menjadikan motivasi dakwahnya hanya dunia dan dunia. (simak Tafsir As-Sa’di, hlm. 307)
Cari Sumber Ilmu yang Baik
Ibnul Qoyim menjelaskan bahwa diantara syarat ilmu itu bisa bermanfaat adalah adanya muatsir muqtadhin [arab: مؤثر مقتض], artinya pemberi pengaruh yang kuat. Dan itu bisa terjadi jika yang menjadi sumber ilmu adalah sesuatu yang baik.
Allah ta’ala menjamin para sahabat tidak akan menjadi kafir, selama di tengah-tengah mereka masih ada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ
“Bagaimana mungkin kalian menjadi kafir, sementara dibacakan ayat Allah kepada kalian dan di tengah-tengah kalian ada rasul-Nya.” (QS. Ali Imran: 101).
Mereka mendapatan jaminan untuk tetap berada di atas iman, salah satu sebab terbesarnya adalah adanya guru yang luar biasa di tengah-tengah mereka. Guru yang memberikan pendidikan iman sempurna, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karena itulah, ulama masa silam tidak sembarangan dalam mencari guru. Mereka sadar bahwa tidak semua orang yang dianggap berilmu, layak untuk diambil ilmunya.
Imam Muhammad bin Sirin – seorang ulama tabiin – pernah memberikan nasehat,
إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذونه
“Sesungguhnya ilmu syariah itu bagian dari agama. Karena itu, perhatikanlah, dari siapa kalian mengambilnya.”
Para ulama juga memahami, dalam mencari sumber ilmu, mereka akan mempertanggung jawabkan hal itu di hadapan Allah ta’ala.
Imam As-Syafii pernah mengatakan tentang gurunya, Imam Malik,
رضيت بمالك حجة بيني وبين الله
“Saya ridha imam Malik sebagai hujjah antara aku dengan Allah.”
Karena mencari sumber ilmu tidak lepas dari keterlibatan hawa nafsu. Bisa saja seseorang memilih ulama yang sesuai seleranya, sekalipun dia sadar, pendapat itu jelas bertentangan dengan kebanaran. Anggapan sebagian orang, biar nanti Pak Kyai yang bertanggung jawab di hadapan Allah, saya hanya mengikuti, ini adalah anggapan yang berbahaya. Sekalipun kita mengikuti, tapi kelak di hadapan Allah, masing-masing akan mempertanggung jawabkan amalnya sendiri-sendiri.
Sekali lagi, tidak semua orang yang dianggap berilmu layak untuk diambil ilmunya. Mereka yang dianggap berilmu, namun berkepribadian ‘matre’, ‘mata duitan’, tidak selayaknya diambil ilmunya. Karena ini diantara ciri ulama su’u, yang berkepribadian buruk.
Allahu a’lam
SUMBER: konsultasisyariah.com
BACA JUGA :